DUA peristiwa di atas, serta potensi asusila yang mengancam para santri di pondok pesantren, hendaknya menjadi starting point untuk kita semua masyarakat Indonesia yang peduli terhadap benteng penjaga moral generasi ini untuk terhindar dari potensi tindak asusila ini.
Peran pemerintah, orang tua, masyarakat sekitar pondok, dan tentu saja pemilik dan pemangku amanah di pondok pesantren perlu saling bersinergi menjalankan fungsi dan tugasnya untuk melanggengkan fungsi tarbiyah atau edukasi di pondok pesantren. Pemerintah sebagai regulator sekaligus pengawas 30 ribuan pondok – pondok pesantren yang tersebar di bumi Nusantara (Data Kemenag 2022) harus aktif menjalankan fungsinya untuk menstandarisasi pondok pesantren bukan hanya memenuhi 5 syarat minimal yang diwajibkan (ada kyai, mesjid, santri, pondok, dan belajar kitab kuning), tetapi benar – benar memastikan bahwa sosok ustadz ustadzah di lingkungan pondok pesantren adalah figur – figur kyai yang menjadi teladan bagi para santrinya.
Mereka bukan hanya orang – orang yang tinggi ilmu pengetahuan agamanya, tetapi juga luhur dan mulia adabnya agar mampu mentrasnformasikan nilai – nilai ajaran langit untuk membumi dalam diri seluruh santri. Jangan bayangkan rumitnya instrumen ini kelak, tapi paling sederhana, pemerintah bisa melakukan deteksi dini untuk mencegah berkembangnya pesantren yang berpotensi menjadi sarang kemaksiatan dunia syahwat di bawah perut. Kepedulian orang tua terhadap ancaman potensi ini juga diperlukan sebagai main user (pengguna utama) layanan pondok pesantren.
Orang tua wajib melakukan pembekalan lebih dini kepada putra – putrinya agar melakukan proteksi ketat terhadap organ – organ tubuh penting mereka yang tidak boleh dilihat apalagi disentuh oleh orang lain. Pengetahuan ini penting untuk dibekali kepada putra – putri yang akan dikirim ke pondok pesantren. Tentu saja husnuddzhon (berprasangka baik) harus dikedepankan terhadap pesantren tempat mereka akan mengirimkan putra – putri kesayangan mereka. Tetapi pembekalan pencegahan sangat diperlukan untuk disampaikan kepada anak – anak, baik yang akan masuk tingkat SMP atau SMA di pondok agar mereka mampu menjaga aurat mereka dari kejahatan orang lain.
Peran masyarakat sekitar juga diperlukan untuk memberi pengawasan (bukan memata – mematai) yang sewajarnya agar apabila terlihat perilaku atau kebiasaan yang mencurigakan dari pengelola atau pengajar di sebuah pondok pesantren di dekat lingkungan tersebut dapat segera diantisipasi dengan mengedepankan pendekatan hukum di negara ini. (**)