DAN yang paling utama, tentu saja adalah peran pondok pesantren. Sebagai orang tua kedua yang diamanahi oleh ayah dan bunda dari anak – anak yang dititipkan di pondok tersebut, hal yang utama yang harus senantiasa tertanam dan ditanamkan di dalam diri para kyai dan pengajar, pengasuh serta warga di dalam pesantren, bahwa mereka sedang menjalankan sebuah perjanjian yang berat (mitsaqon gholiizon) untuk menjaga putra – putri yang dititipkan di pesantren mereka untuk tetap tumbuh dalam fitrah keislamannya.
Amanah yang secara syariat mengikat kepada kedua orang tua mereka yang kemudian melibatkan pondok pesantren untuk bersinergi menanggung amanah tersebut selama pendidikan putra – putri mereka di pondok pesantren. Konsekuensi dari penghianatan terhadap amanah ini, bukan hanya gagalnya generasi yang diinginkan, tetapi juga kafalah (tanggungan) dosa yang ditanggung oleh pemangku – pemangku amanah di pesantren selama pendidikan anak – anak tersebut di lingkungan pondok.
Maka seleksi ketat terhadap tenaga pendidik, baik guru dan pengasuh di asrama harus dilakukan oleh kyai atau pimpinan pondok untuk menghindari terjadinya tindak asusila yang tidak diinginkan di lingkungan pondok. Sistem kehidupan yang terjadwal dan termonitor juga harus diformat serapi mungkin agar tidak ada celah terhadap terjadinya kejahatan seksual. Pengaturan tempat tidur, pengawasan santri di waktu – waktu rentan (waktu – waktu kosong dan waktu istirahat) serta minimalisir ikhtilat (percampuran santri putra dan putri, atau bahkan ustadz putra dengan santri putri atau ustadzah putra dengan santri putra) harus diupayakan oleh pondok seoptimal mungkin.
Kalaupun ada campur baur antara lawan jenis, karena ada udzur syar’i, seperti kegiatan belajar mengajar, maka harus ada kontrol dan pengawasan yang ketat agar peristiwa kejahatan seksual tidak menimpa para santri. Perkembangan teknologi juga bisa menjadi solusi pilihan bagi pondok kecil atau pun besar untuk menempatkan cctv (kamera pengawas) di titik – titik krusial yang bisa dimonitor oleh pihak keamanan pondok atau orang yang dipercaya melakukan pengawasan.
Inilah ikhtiar (upaya) yang perlu dilakukan oleh pemerintah, orang tua, warga sekitar dan pengurus pondok pesantren untuk saling bersinergi bahu membahu menciptakan kondisi yang kondusif yang telah dilalui ratusan tahun oleh puluhan ribu pondok pesantren di Indonesia. Tentu ikhtiar ini perlu didukung dengan munajat munajat para orang tua dari bilik – bilik rumah mereka agar anak yang dititipnya di “lembah tandus” modern ini menjadi anak yang takut dan taat beribadah hanya kepada Allah swt. Orang tua harus kuat untuk menghapus air mata kesedihan ketika mengayunkan kaki melangkah meninggalkan anak gadis dan bujangnya menempuh kemandirian fitrahnya di pondok pesantren.
Bantu dan kuatkan mereka dengan lantunan do’a, dan sebut namanya agar Allah senantiasa membimbing dan memberi hidayah kepada mereka. Juga do’a dan munajat para kyai dan para ustadz dari tempat – tempat sujud mereka agar anak – anak yang sedang belajar di pondok – pondok mereka senantiasa dijaga dan dilindungi oleh Allah swt. Kalau semua kekuatan ini bersinergi satu sama lain, menjalankan fungsinya masing – masing, maka keberhasilan pondok pesantren yang telah menyelamatkan jutaan generasi dari jahatnya zat haram yang terkandung dalam narkoba, pergaulan bebas sesama jenis, ancaman kecanduan gadget akan tetap terus berhasil mereka lestarikan termasuk menjaga dan merawat kesucian diri para santri dari ancaman tangan – tangan penjahat seksual yang memanfaatkan status dan posisi di internal pondok itu sendiri.
Keberhasilan pesantren yang telah melahirkan jutaan generasi yang berkontribusi positif terhadap pembangunan bangsa akan tetap terus terawat dan terjaga dengan kekuatan peran dari pemerintah, orang tua, warga sekitar, dan pondok pesantren itu sendiri. Mari bersinergi menjaga “tanah tandus” ini, jangan robohkan kekokohan benteng penjaga moral anak bangsa. (**)