APA Kabar Indonesia? Di tengah perayaan kemerdekaan yang sedikit tercoreng dengan perilaku “oknum” kepolisian yang meruntuhkan marwah institusi, tempat masyarakat mengadukan masalah hukumnya, Sang Merah Putih masih bisa berkibar di pelosok – pelosok desa, sudut – sudut rumah, hingga gedung – gedung sekolah dan perkantoran.
Presiden bersama para pejabatnya bahkan melakukan perayaan yang tidak seperti biasanya, mengundang penyanyi cilik untuk menghibur seluruh undangan yang menghadiri upacara kemerdekaan negeri ini di Istana negara. Penyanyi cilik, tentu saja masih innocent, yang membawakan lagu “Ojo dibandingke”, sebuah lagu yang kalau hanya melihat judulnya akan membawa imajinasi terbang ke mana-mana. Apa yang tidak boleh dibanding – bandingkan? Siapa yang tidak boleh dibanding bandingkan? Yang jelas, para pejabat saat itu sedang tidak ingin membanding – bandingkan, karena mereka hanya ingin menikmati untaian lagu yang dinyanyikan oleh sang penyanyi.
Saking menikmatinya, sepanjang lagu tersebut, yang bahkan sang penyanyi cilik diminta untuk mengulangi bernyanyi lagu yang sama sebanyak 2 kali, para pejabat itu menari
dan berjoget memperlihatkan kegembiraan dalam suasana penuh kebahagiaan di hari kemerdekaan Indonesia yang ke 77.
Apa kabar Indonesia? Belum genap sepekan setelah peringatan sakral kemerdekaan tersebut, ekonomi Indonesia menunjukkan gelagat yang bisa dikatakan sedang tidak baik, menjadi semakin tidak baik. Setelah drama naik turunnya harga minyak goreng yang memakan korban pergantian menteri perdagangan, ternyata harga telur pun terkerek naik mencapai harga tertinggi sepanjang sejarah (https://CNBC.com, 24 Agustus 2022).
Tidak mau menjadi korban sebagaimana pendahulunya, menteri perdagangan yang baru, mengeluarkan pernyataan bahwa harga telur naik karena cairnya dana bantuan sosial (Bansos) yang menyebabkan tingginya permintaan, sementara produksi terbatas. Pernyataan yang kemudian harus disanggah oleh Kemensos, hingga dua kementerian ini harus saling memberi klarifikasi, walaupun tetap saja, klarifikasi keduanya tidak memberi solusi terbaik terhadap masalah utama yaitu bagaimana menurunkan harga telur, tetapi justru blaming (menyalahkan) dan self defence (membela diri).
Seorang penjual Soto di bilangan daerah Jawa Barat menyampaikan uneg – uneg nya kepada penulis, bahwa dulu waktu ia kecil, dengan hidup dalam keterbatasan ekonomi, kakeknya memberikan ia telur untuk merasakan nikmatnya makan ayam. Lalu ia berseloroh, kalau kakeknya masih hidup, apakah harus makan ayam untuk bisa merasakan makan telur.
Pertanyaan yang rumit untuk dijawab, serumit menjawab pertanyaan iseng tapi tricky, apakah ayam dahulu yang ada baru telur, ataukah telur dahulu yang ada baru ayam.(bersambung*)