Apa kabar Indonesia? Belum lagi kalau bicara pendidikan. Tidak perlu jauh – jauh menghitung hari sejak zaman kemerdekaan 70 tahun lalu. Ayo buka mata, dan lihat kualitas pendidikan bangsa ini sejak zaman setelah reformasi 1998. Salah satu indikatornya adalah Indeks pembangunan manusia.
Lihatlah indeks pembangunan manusia (Human indeks development) di Indonesia, khususnya dalam indikator pendidikan. Hasil Human Indeks Development (HDI) Indonesia di tahun 2021 menunjukkan anak – anak Indonesia yang berusia 7 tahun memiliki harapan menempuh pendidikan hingga Diploma I. Dan yang membuat kita terkejut, HDI Indonesia di tahun 2021 menunjukkan bahwa rata-rata penduduk Indonesia berusia 25 tahun ke atas telah menempuh pendidikan hingga kelas sembilan (IX). Padahal idealnya, harapan anak – anak kita berpeluang menempuh pendidikan hingga minimal S1, dan di usia 25 tahun mereka semua sudah bergelar minimal sarjana S1.
Kalau di usia 25 tahun, rata – rata mereka baru selesai menempuh pendidikan hingga kelas IX SMA, sesungguhnya ini bertentangan dengan semangat wajib belajar 12 tahun yang telah diatur oleh Permendikbud nomor 19 tahun 2016, yang memberi hak warga Indonesia usia belajar untuk menyelesaikan studinya hingga lulus SMA. Sebuah tantangan yang harus dijawab oleh pemerintah dengan memberikan kebijakan sistem pendidikan yang lebih tepat. Karena maju dan mundurnya bangsa ini, akan sangat bergantung dengan bagaimana positioning anak – anak muda sebagai generasi penerus Bangsa ini. Belum lagi bicara mutu pendidikan. Bicara mutu, mungkin yang paling bisa kita ingat adalah pergantian kurikulum dari KBK 2004, KTSP 2006, Kurikulum 2013, hingga yang terbaru yaitu Kurikulum Merdeka.
Hasilnya? Mari kita lihat Indikator mutu pendidikan berstandar internasional berdasarkan survei Program of Internasional Student Assessment (PISA). Berdasarkan hasil survei PISA, kemampuan membaca, berhitung, dan sains anak – anak Indonesia (Khususnya usia 15 tahun, atau usia SMP), walaupun terlihat fluktuatif, tetapi berada dalam posisi stagnan sejak tahun 2000 hingga 2018. Artinya, selama kurun waktu hampir dua dekade, pendidikan kita tidak berhasil meningkatkan kemampuan siswa dalam bidang membaca, matematika dan sains. Bahkan pada hasil survei PISA 2018, Indonesia berada di urutan ke 74 atau enam dari bawah di antara 79 Negara yang disurvei.
Kemampuan membaca Indonesia di posisi 74, matematika di posisi 73, dan kemampuan sains di posisi 71. (https://radioedukasi.kemdikbud.go.id/, 25 April 2022) Ssssttt…, Jangan bandingkan dengan Malaysia, apalagi Singapura, meminjam judul lagu di yang didendangkan di Istana negara, Ojo dibandingke. Bahkan dengan Thailand dan Brunei Darussalam saja, Indonesia sudah tertinggal. Thailand di posisi 68, sedangkan Brunei di posisi 61 dari 79 negara, Masih Penasaran dengan Malaysia? Hasil PISA 2018 menempatkan Malaysia di posisi 59 atau terdapat gap 15 peringkat di antara Malaysia dan Indonesia.
Singapura? Negara yang memang sangat peduli dengan pendidikan ini menempati posisi 2 di bawah Cina dalam urusan kualitas pendidikan dari 79 negara yang disurvei. Tentu kita berharap, ada itikad baik dari pemerintah untuk bersama – sama masyarakat bergandengan tangan menuntaskan amanat undang – undang dalam melahirkan generasi cerdas yang beriman dan bertakwa. Ajak seluruh elemen masyarakat untuk menyumbangkan pikirannya dalam menghasilkan mutu pendidikan yang baik. Bangsa ini tidak kekurangan profesor, doktor, ilmuwan, apalagi guru – guru hebat.
Sejatinya, banyak tangan dingin para guru yang berhasil mencetak generasi cerdas berkarakter seperti Pangeran Diponegoro, Jenderal Hoegeng, hingga tokoh muda kader NU yang sedang dipakai oleh Singapura, yaitu Ainun Najib. Bangsa ini hanya perlu “good will” dari para pengambil kebijakan untuk membangun sistem pendidikan yang berdaya tahan, tidak ngikut kiri ngikut kanan, dan kehilangan identitasnya.
Bangsa ini perlu memberi keberpihakan pada guru sebagai ujung tombak, garda terdepan pendidikan dengan kesejahteraan yang dipayungi dengan legalitas yang tidak menimbulkan pro dan kontra sebagaimana yang terjadi pada RUU sisdiknas yang sedang disiapkan untuk mengganti UU guru dan dosen nomor 20 tahun 2003. (bersambung*)