ASRAMA menjadi titik sentral untuk meningkatkan kemandirian siswa dengan berbagai tugas individu yang melekat kepada diri masing – masing dari tanggung jawab kamar dan tempat tidurnya, pakaian dan lemarinya, hingga kebersihan lingkungan asrama. Di Asrama ini juga, para santri dibina akhlaknya untuk menyayangi yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua serta senantiasa menjaga perilaku selama berinteraksi dengan penghuni lainnya.
Di sekolah, mereka kemudian diberi ilmu pengetahuan sebagaimana pelajar – pelajar di sekolah non boarding lainnya sesuai dengan kurikulum nasional (kemendikbud atau kemenag). Tentu saja nilai plus pendidikan di pesantren adalah karena mereka belajar agama lebih intensif dengan kitab kuning klasik nya, serta integrasi nilai – nilai Islam ke dalam setiap mata pelajaran di kurikulum nasional oleh para ustadz – ustadznya. Inilah tiga infrastruktur mahal yang dimiliki oleh pesantren yang saling berintegrasi satu sama lain. Mesjid, asrama dan sekolah menjadi media untuk membentuk karakter mereka menjadi generasi yang dicita – citakan oleh semua orang tua yang menitipkan putra – putrinya di pondok yaitu anak – anak yang sholeh – sholehah dan mulia adab perilakunya. Inilah benteng kokoh yang senantiasa membentengi satu generasi ke generasi lainnya.
Sayangnya, dibalik ketangguhan benteng kokoh ini, pesantren juga menghadapi ancaman baik dari internal maupun eksternal. Obrolan ringan dengan dua orang yang secara kebetulan berprofesi sama yaitu supir kendaraan yang saya tumpangi dalam perjalanan mengantar anak saya ke pesantrennya, menunjukkan bahwa peristiwa viral yang terjadi di sebuah pesantren besar di Jawa Timur menjadi perhatian serius masyarakat yang berharap banyak kepada benteng pelindung akhlak generasi ini. Belum lagi pemberitaan berhari hari dari media – media mainstream dan tidak ketinggalan pandangan netizen di media sosial menjadikan peristiwa tidak senonoh yang sesungguhnya sangat tabu untuk terjadi di tempat dimana moral sangat dijunjung tinggi menjadi perhatian serius yang harus dibenahi oleh para pemilik dan pemangku amanah di pondok pesantren.
Peristiwa ini sesungguhnya hampir mirip kalau tidak bisa dikatakan nyaris serupa dengan kejadian yang terjadi di sebuah pesantren relatif jauh lebih kecil dengan bingkai nama yang lebih modern berupa Boarding school di sebuah daerah di Jawa Barat, yang belakangan tidak diakui sebagai sebuah pesantren oleh Kemenag dan juga MUI Jawa Barat karena tidak memenuhi unsur persyaratan sebagaimana layaknya sebuah pesantren. Tetapi, dua kejadian ini merupakan peristiwa yang sama, yaitu tindak asusila seorang yang dinamakan Kyai (telah dijatuhi vonis hukuman mati) di sebuah boarding school (sekolah berasrama) di Jawa Barat, dan seorang anak kyai yang disangkakan (masih proses hukum) melakukan tindak asusila di pondok pesantren ayahnya di Jawa Timur.
Modus kedua nya nyaris mirip, yaitu menjadikan santri – santri putri sebagai korban pencabulan yang mereka lakukan, dan bukan hanya sekali, tetapi berkali kali, dan lebih miris lagi karena korbannya tidak sedikit, lebih dari satu orang. Inilah satu dari ancaman internal yang dihadapi oleh pondok pesantren hari ini, yaitu tindak asusila berupa kejahatan seks yang berpotensi terjadi di dalam lingkungan pondok oleh orang di dalam pondok pesantren tersebut. Selain tindak asusila terhadap lawan jenis, sebagai dua peristiwa di atas, pesantren juga dihadapkan pada potensi ancaman, yang walaupun mungkin sangat minim, tetapi berpeluang terjadi yaitu munculnya perilaku menyukai sesama jenis, perilaku yang sangat dilaknat oleh Allah swt. Tidak bisa dibayangkan betapa hancur hati para orang tua yang mendapati putra – putri yang dititipkan di tempat dimana nilai – nilai mulia seharusnya ditegakkan, ternyata dinodai oleh oknum – oknum yang memanfaatkan statusnya untuk menyalurkan nafsu kebinatangannya. Naudzu billahi, tsumma naudzu billahi mi dzaalik. (**)