HARI itu saya menempuh perjalanan darat kurang lebih 16 jam dari Depok, Jawa Barat menuju Surabaya, Jawa Timur. Setelah itu bersama istri dan 5 orang anak, kami melanjutkan perjalanan menuju Kota Pandaan yang terletak di Kabupaten Pasuruan selama kurang lebih 2 jam. Perjalanan ratusan kilometer yang sedikit melelahkan, tapi harus kami lalui demi mengantar sang buah hati, anak kedua kami, yang akan melanjutkan pendidikannya di pondok pesantren penghafal qur’an di Pasuruan. Hari itu, saya dan istri sebagaimana banyak orang tua lainnya di Bumi Nusantara ini, mencoba bermujahadah (bersungguh – sungguh) menapaktilasi nenek moyang semua ummat beragama, yaitu Nabiullah Ibrahim alaihissalaam, untuk menempatkan putra kedua kami di Pondok pesantren (yang jauh lebih lengkap infrastrukturnya daripada padang pasir tempat ismail dan bundanya hajar ditinggalkan dahulu) agar putra kami sebagaimana putra – putri para orang tua yang memasukkan anaknya ke pondok pesantren menjadi anak – anak yang kenal dan cinta kepada Tuhannya, yaitu Allah swt, taat dan tunduk beribadah hanya kepadaNya dan senantiasa melaksanakan segala perintahNya serta menunjukkan perilaku akhlak yang mulia.
Kenal dan taat kepada Tuhannya, inilah sebuah tugas besar yang diemban kedua orang tua dalam perjalanan mengasuh putra – putri yang diamanahkan oleh Allah swt. Seorang anak yang baru lahir dari rahim ibunya, merupakan bayi yang masih dalam fitrah kesuciannya. Suci dalam arti, ia masih bersih dalam ketundukan kepada Rabbnya sebagai seorang yang berserah diri (Muslim) hanya kepada Allah swt yang telah mengeluarkannya dari rahim ibunya. Jiwa yang fitrah ini kelak menghadapi dua keadaan, apakah ia akan tetap dalam keadaan fitrahnya atau keluar dari fitrahnya (keluar dari Islam dan menjalankan agama atau kepercayaan di luar Islam), hal ini bergantung kepada kedua orang tuanya. (**)