LINGKARANBERITA.COM, BAGAIMANA rasanya menjadi manusia terjajah? Tentu yang akan muncul adalah perasaan terikat, tidak bebas, bahkan teraniaya. Manusia yang terjajah senantiasa terjebak dalam ikatan belenggu rantai yang sangat kuat, yang menghalanginya untuk melakukan apa yang menjadi keinginannya. Jangankan untuk beraktivitas sesuai keinginannya, manusia yang terjajah akan sulit untuk mengimajinasikan pikirannya sesuai dengan apa yang dilihatnya.
Lihatlah seekor anjing, yang dirantai oleh tuannya. Ia tidak akan bebas berkeliaran karena lehernya terikat dengan panjang rantai yang sangat terbatas. Kegiatannya hanya berkisar seputar kandang, kalaupun berkesempatan untuk jalan, rantai yang mengikat lehernya tetap dipegang erat oleh sang pemilik, agar bisa mengendalikan arah jalan hewan peliharaannya.
Sebaliknya, manusia merdeka akan bebas mengelola segala sesuatu yang berkaitan dengan keinginan mereka. Manusia merdeka bebas mengelola keinginannya, cita citanya dan mereka bebas mengelola pikirannya untuk meraih tujuan hidupnya. Ibarat seekor burung yang baru saja lepas dari kandangnya, ia akan terbang sekehendak hatinya, terbang tinggi menembus cakrawala, tanpa rasa khawatir untuk terkurung dalam sempitnya kandang yang menabrak asas kehidupan burung, yaitu terbang tinggi di udara sebebas bebasnya.
Konsep merdeka dalam kehidupan manusia, tentu saja bukan kemerdekaan yang berarti berbuat sebebas – bebasnya sesuai dengan keinginan manusia masing – masing. Sebab kalau konsep ini yang diusung, maka yang akan terjadi adalah akan munculnya begitu banyak konflik kepentingan hasil dari kebebasan berpikir dan bertindak yang tidak terkontrol dengan baik. Di sinilah diperlukan kehadiran sistem nilai untuk mengelola kebebasan ini, agra kebebasan tersebut tidak salah kaprah dan cenderung menabrak batasan – batasan nilai kemanusiaan.
Agar sistem nilai yang digunakan bersifat universal dan sesuai dengan kodrat atau fitrah manusia, maka sudah sewajarnya kalau sistem nilai yang mengatur kebebasan manusia haruslah berasal dari Sang Pencipta Manusia itu sendiri. Disinilah Islam, sebagai agama langit, memiliki tatanan nilai yang berasal langsung dari Sang Pencipta, yaitu qur’an sebagai kamus kehidupan kebebasan manusia. Quran yang diturunkan kepada Rasulullah SAW, merupakan jawaban komprehensif yang membebaskan manusia dengan kebebasan yang mulia.
Peristiwa yang sangat dekat dengan fase sebelum turunnya Al Quran adalah sistem kebebasan hidup yang dianut oleh masyarakat jahiliah yang justru memunculkan penjajahan dalam bentuk perbudakan yang sangat masif. Sistem jahiliah ini memunculkan raja – raja kecil dan penguasa – penguasa zalim, serta nyaris menganaktirikan kaum miskin dan manusia berkulit hitam. Penindasan, penganiayaan, pelecehan kaum wanita menjadi tontonan sehari – hari yang justru menciptakan lingkaran penjajahan bagi kaum termarjinalkan seperti budak kulit hitam dan orang – orang lemah.
Turunnya Al – Quran, menjadi jawaban akan kedahagaan umat untuk mendapatkan sistem nilai yang memerdekakan dan membebaskan. Ketika ayat pertama turun, setiap individu manusia mendapatkan energi yang sangat powerful dari ayat pertama surat Al – alaq ini yaitu
ا ِ ْق َر أ ْ ِب ا ْس ِم َر ِب َك ا ل َّ ِذ ْي َخ ل َ َق
“Bacalah dengan (menyebut) Nama Tuhanmu yang menciptakan”
Energi kuat yang tertuang dari ayat ini adalah bahwa manusia diajak untuk membebaskan paradigma berpikirnya dari berpikir yang dikendalikan oleh materi menuju paradigma berpikir dengan landasan Ismi Robbika yaitu Allah swt. Inilah langkah fundamental yang membedakan manusia terjajah dengan manusia merdeka, bahwa manusia merdeka hanya menyandarkan cara membaca atau berpikirnya kepada Allah swt. sang Maha Pencipta.
Antonio Gramsci, seorang filosof Italia menyatakan dalam sebuah kutipannya yang sangat terkenal di kalangan ilmuwan filsafat bahwa langkah pertama dalam memerdekakan diri sendiri dari perbudakan sosial dan politik adalah dengan membebaskan pikiran. Walaupun Gramsci belum atau bahkan tidak pernah membaca ayat pertama dari surat Al – alaq, tapi justru ini menandakan bahwa ayat ini bersifat universal yang diakui kebenarannya, bahwa untuk terbebas dari penjajahan, seorang manusia harus menyandarkan paradigma berpikirnya berlandaskan Allah swt. Terbukti dengan energi ayat ini, Seorang Bilal Bin Rabbah tidak lagi terbebani dengan sebuah sugesti bahwa majikannya Umayyah Bin Khalaf adalah manusia paling hebat yang harus ditakuti dan ditaati seluruh perintahnya. Tetapi Bilal Menshifting (mengubah) mindset berpikirnya bahwa yang Maha Besar dan pantas untuk ditaati hanyalah Zat yang menciptakan dirinya dan Umayyah beserta seluruh manusia di muka bumi, yaitu Allah swt.
Iqro yang secara harfiah diartikan membaca, sesungguhnya mengandung makna yang lebih dalam yaitu berpikir. Karena membaca tanpa mengaktivasi pikiran akan mengakibatkan bacaan menjadi tidak bermanfaat. Iqra’ bismirabbikalladzii khalaq, “Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan.” Iqra pada ayat ini, sesungguhnya mengaktivasi fikiran untuk hanya berlandaskan pada ismi robbika. Tahapan berpikir dengan bismirobbika ini

merupakan jalan pembuka untuk mendapatan kebebasan kehidupan berikutnya. Kehidupan yang terbebas dari penjajahan bersifat materi dan kepentingan dunia semata.
Ayat kedua dari Al – alaq kemudian memberikan penjelasan secara lebih spesifik
“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.”
َخ ل َ َق ا ْ ِلْ ْن َس ا َن ِم ْن َع ل َ ق
Ayat ini menjelaskan tentang hakikat penciptaan manusia dan, yang terpenting, adalah kelanjutan dari ayat sebelumnya. Artinya, untuk memahami ayat ini, kita perlu mengaitkannya dengan ayat sebelumnya. Maknanya: ‘membaca’ tidak hanya sekadar membaca secara tekstual, tetapi juga membaca hakikat penciptaan secara lebih luas. Ayat ini sekaligus menekankan, bahwa mengaktivasi fikiran dalam kegiatan membaca sangat
diperlukan, karena objek bacaan yang bersifat sangat luas yang memerlukan kedalaman fikiran berlandaskan ismi robbika. Ayat ini juga memberikan sebuah ilustrasi menarik, yaitu tentang hakikat penciptaan manusia dari segumpal darah. Hal ini memberikan satu isyarat
kepada manusia untuk berpikir agar dapat mengetahui hakikat sebagai seorang manusia yang diciptakan dari segumpal darah. Berpikir merupakan sarana untuk mengetahui makna kehidupan dunia, sekaligus untuk menemukan keterbatasan – keterbatasan sebagai seorang manusia. Dengan berpikir berlandaskan ismi robbika, manusia akan mengetahui bahwa hakikat seseorang sebagai manusia hanya segumpal darah yang eksistensinya hanya dimungkinkan oleh ruh yang ditiupkan oleh Allah. Berpikir akan membebaskan kita dari perbudakan fikiran bahwa manusia terikat dengan eksistensi materialitas diri nya.
Lalu, ayat ketiga dari Surat Al – Alaq, memberikan penekanan tentang alasan dibalik perintah berpikir dengan paradigma Ismi Robbika,
“Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia”
اِ ْق َرأْ َو َربُّ َك ا ْلَْ ْك َرم
Ayat ini mengulang perintah di ayat pertama: “membaca”. Namun, ada satu dimensi yang ditekankan di ayat ini: Kemuliaan Tuhan! Ayat ini sekaligus memberikan limitasi (batas) bagi materialitas manusia yang ditekankan di ayat pertama, yaitu manusia yang berada di bawah kekuasaan Tuhan. Inilah tujuan kita mengaktifasi fikiran berlandaskan Nama Tuhanmu, yaitu Allah yang maha Mulia, yaitu untuk memahami bahwa esensi seorang manusia adalah sebagai makhluk Tuhan.
Seorang manusia yang telah membebaskan pikirannya dari segala bentuk penyimpangan untuk hanya tunduk kepada Ismi Robbika, atau berlandaskan pada keinginan Allah swt., akan senantiasa aktif memikirkan makna kehidupan untuk senantiasa menemukan
kelemahan dirinya sehingga senantiasa berupaya untuk tidak terjebak dalam perbudakan yang mengeksploitasi sisi materialis manusia, yang hanya melahirkan manusia – manusia budak dunia. Sebaliknya, manusia yang pikirannya berlandaskan ismi robbika, akan memahami bahwa kelemahan – kelemahan yang terungkap dalam proses berpikirnya akan melepaskan dirinya dari belenggu eksistensi materialis menuju ketundukan hanya kepada Allah swt. Inilah manusia merdeka sesungguhnya, manusia yang menyandarkan pikirannya
berlandaskan Ismi robbika, Tuhan yang Maha Mulia, yang menciptakan manusia dari segumpal darah.
Kalau saja mayoritas manusia mau dan mampu mengaktivasi proses berpikirnya
secara merdeka, tanpa disandera oleh keinginan – keinginan terhadap kecenderungan dunia seperti kekuasaan, harta, dan lawan jenis, maka niscaya manusia akan melahirkan produk – produk brilian sesuai dengan kemajuan zaman yang mampu memfasilitasi manusia untuk hidup damai berdampingan dengan alam dan seluruh isinya termasuk hidup berdampingan secara damai dengan sesama suku bangsa. Tetapi, apabila yang terjadi adalah sebaliknya, manusia kemudian tersandera cara berpikirnya, terjajah dengan kepentingan dunia, maka yang terjadi hanyalah munculnya produk – produk baru yang hanya memfasilitasi kaum kapitalis untuk mendapatkan keinginannya walaupun untuk mencapai hal tersebut mereka
harus melakukan penjajahan terhadap manusia lainnya yang relatif berlatar belakang kaum lemah dan terbelakang. Maka berpikir dengan menggunakan paradigma ismi robbika menjadi sarana untuk melahirkan manusia – manusia produktif, manusia – manusia bebas yang mengkreasikan pikirannya untuk memberi manfaat kepada umat manusia. (**)