Lingkaranberita.com, Penajam – Di balik hamparan hijau sawah di Kelurahan Sesumpu, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), tersimpan kegelisahan para petani yang kian hari kian terhimpit. Bukan karena gagal panen, tapi karena hasil jerih payah mereka — gabah — tak lagi punya nilai jual yang layak. Harga yang terus merosot dan tiadanya pembeli membuat para petani nyaris kehilangan harapan.
Keluhan ini mencuat dalam sesi reses anggota DPRD PPU, Mahyudin, pada Minggu (28/2/2025). Para petani menyampaikan bahwa pemasaran gabah lokal nyaris lumpuh akibat lemahnya intervensi pemerintah dan masuknya beras murah dari luar daerah.
“Gabah kami melimpah, tapi tak ada yang mau beli dengan harga pantas. Kalau mau dijual murah, kami yang rugi. Tapi kalau bertahan, gabah menumpuk. Ini bukan lagi soal untung atau rugi, tapi soal bertahan hidup,” ungkap seorang petani penuh emosi.
Para petani menyesalkan ketiadaan peran aktif Bulog dalam menyerap hasil panen lokal. Mereka berharap Bulog bisa menjadi penyelamat, bukan hanya simbol. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa mekanisme penyerapan gabah dari petani PPU masih jauh dari harapan.
Merespons hal itu, Mahyudin menyatakan komitmennya untuk memperjuangkan suara petani Sesumpu. Ia berjanji akan menjembatani audiensi langsung antara Bulog dan petani, serta mendorong agar ada regulasi yang memihak petani lokal.
“Kami akan minta Bulog membeli gabah petani PPU dengan harga yang wajar. Tidak boleh ada praktik yang membuat petani kita kalah di tanah sendiri,” tegas Mahyudin.
Ia juga menyatakan perlunya kebijakan yang menyentuh hulu-hilir pertanian: mulai dari harga, distribusi, subsidi produksi, hingga pengendalian impor beras yang mematikan pasar lokal.
“Petani bukan hanya produsen pangan, tapi benteng ketahanan daerah. Kalau mereka terus ditinggalkan, maka ketahanan pangan pun bisa rapuh. Pemerintah harus hadir bukan sekadar dalam pidato, tapi lewat aksi nyata,” tambahnya.
Mahyudin mengajak seluruh pihak — dari eksekutif hingga dinas teknis — untuk lebih responsif terhadap penderitaan petani. Ia optimistis, jika ada keberpihakan yang jelas dan sistem distribusi yang adil, petani Sesumpu bisa kembali bangkit dan sejahtera.
“Kita punya peluang besar untuk mandiri pangan. Tapi itu hanya bisa dicapai kalau petaninya dilindungi, bukan dikorbankan,” pungkas Mahyudin.
Kini, bola ada di tangan pemerintah. Akankah suara petani yang selama ini terpinggirkan akhirnya mendapat tempat dalam kebijakan nyata? Atau hanya akan kembali tenggelam bersama harga gabah yang tak kunjung naik?(adv/DPRD PPU)