Mengulik keindahan Gunung Lawu dibalik mitos kemistisannya. Lawu adalah satu dari sekian banyak gunung di pulau Jawa yang memiliki keindahan alam yang menakjubkan. Namun identik dengan Angker dan mistis.
Mengawali tahun 2022, gunung yang memiliki ketinggian 3.265 Meter Dari Permukaan Laut (MDPL) ini, menjadi pendakian keenam saya.
——————————————————
Catatan : Sandi kurniyawan.
LINGKARANBERITA.COM, GUNUNG Lawu terletak di wilayah provinsi Jawa Tengah dan sebagian di Provinsi Jawa Timur. Kaki Gunung Lawu terletak di kabupaten Karang Anyar, kabupaten Ngawi dan Kabupaten Magetan. Meskipun demikian Keindahannya tak kalah dengan gunung lainnya seperti Argopuro atau Semeru.
Gunung Lawu dapat didaki melewati beberapa jalur pendakian, diantaranya via cemoro Sewu, cemoro kandang dan Candi Cetho.
Namun ekspedisi Kali ini saya bersama tim pendakian memilih jalur candi Cetho. Selain tergolong familiar di kalangan pendaki. Jalur ini pun terdapat artefak peninggalan kerjaan Majapahit yang kerap menjadi konsumsi para wisatawan.
Cukup banyak orang melihat Gunung Lawu sebagai gunung yang penuh dengan misteri, angker atau bahkan menyeramkan. Terbukti dihampiri semua sosial media ketika nama Gunung Lawu terangkat ada saja hal-hal mistis yang juga ikuti dibicarakan. Adanya label gunung angker sepertinya tidak muncul secara tiba-tiba, tapi naik berbarengan dengan banyaknya kejadian aneh yang memang pernah terjadi di gunung ini. Misal kasus hilang atau meninggalnya pendaki yang pernah terjadi beberapa waktu yang lalu.
Tak hanya itu, konon katanya salah satu lokasi menuju puncak Lawu yang disebut Pasar Dieng adalah tempat jual beli para mahluk gaib. Dari kejadian tersebut akhirnya membuat orang-orang berspekulasi dan mengaitkannya dengan hal-hal di luar nalar.
Tepatnya pada 28 Januari 2022 saya Bersama 3 orang teman, memulai ekspedisi ini. Satu dari Balikpapan Pak Bambang dan dua dari Surabaya yakni Sabil dan Bendot (nama sapaan). Selain hobi, melepas penat untuk mencari ketenangan di alam pegunungan adalah misi kami.
Usai bertemu dengan dua sahabat di Surabaya, perjalan pun kami mulai. Perjalan dari Surabaya pukul 18.30 WIB menuju base camp kurang lebih memakan waktu 6 jam menggunakan bus cepat.
Setibanya di basecamp pukul 23.50. Tak banyak cerita akibat kantuk dan lelah kami pun memutuskan beristirahat untuk persiapan esok hari.
Pagi 29 Januari 2022 kami langsung bersiap untuk melakukan pendakian. Seperti pengalaman pendakian lainnya. Sebelum melakukan pendakian diwajibkan melakukan registrasi pendaftaran.
Tak jauh dari tempat registrasi, kami langsung disuguhkan megahnya Candi Cetho yang merupakan candi bercorak hindu peninggalan kerajaan Majapahit. Menurut catatan sejarah, Candi Cetho ini dibangun oleh Raja Brawijaya V pada 1397 Saka atau 1475 Masehi sebagai tempat melakukan ritual ruwatan atau tolak bala. Meskipun tidak sempat menjelajahi kompleks candi ini secara keseluruhan, tapi pemandangan dari pelatarannya saja sudah sangat cantik. Tak ayal, tempat ini selalu dipenuhi wisatawan khususnya pada akhir pekan.
Tidak jauh dari Candi Cetho yang juga jadi titik awal pendakian terdapat Candi Kethek. Kethek sendiri dalam bahasa Jawa berarti kera. Candi ini berada tepat di sisi kanan jalur pendakian sehingga bisa dinikmati langsung oleh para pendaki. Candi Kethek memiliki empat teras bertingkat yang mengarah ke sisi barat, di mana tiap terasnya dihubungkan dengan undakan batu. Terdapat juga jalan setapak yang bisa digunakan untuk menuju ke teras paling atas. Berbeda dibanding Candi Cetho, candi ini terlihat lebih sepi dari pengunjung karena jaraknya yang lumayan jauh dari area parkir kendaraan.
Suasana mistis akan mulai terasa ketika pendakian menuju Pos 1, yang mana saya dan teman-teman harus mendaki jalur bertangga yang mirip dengan pintu gerbang ke singgasana raja. Di kiri dan kanannya terdapat payung berwarna kuning emas yang sangat identik dengan atribut kerajaan, bahkan di pertengahan tangga terdapat juga patung yang ukurannya cukup besar dengan bentuk yang unik.
Sebelum menaiki tangga tersebut di sisi kiri terdapat dua penjaga lengkap dengan tumpukan kain batik khas daerah setempat. Setiap orang pun diajak untuk menggunakan kain batik tersebut. Dan memberi seikhlasnya.
“Kami tidak meminta atau memaksa. Kain ini sebagai simbol menghormati dan menjaga kesakralan peninggalan kerajaan. Tidak juga enggak masalah,” kata sang penjaga.
Selepas jalur tangga kami dipertemukan lagi dengan kolam yang sangat jernih dengan air yang terus mengalir dari lubang-lubang batu.
Curuk tujuh namanya.
Jalur Candi Cetho, pendaki harus melalui lima pos pendakian. Masing-masing pos memiliki nama berdasarkan sejarah, yang penyebutannya menggunakan dialek Jawa.
Pos 1 Berjarak 764 meter dari posko pendakian dengan ketinggian 1.702 mdpl. Pos 2, Brak Seng, berjarak 1.034 meter, ketinggian 1.906 mdpl. Pos 3, Cemoro Dowo, berjarak 723 meter, dengan ketinggian 2.251 mdpl. Pos 4, Penggik, berjarak 824 meter, pada ketinggian 2.550 mdpl dan Pos 5, Bulak Peperangan, sejauh 1.542 meter, dengan ketinggian 2.861 mdpl.
Perjalanan pun kami lanjutkan. Tidak sampai di situ suasana mistis di Gunung Lawu terus berlanjut ke beberapa Pos yang kami lewati. Di antaranya Pos 2 dan Pos 4, di sini saya menemukan tempat penyimpanan sesajen yang di dalamnya terdapat dupa yang masih menyala. Cukup menarik memang, karena saya sendiri jarang sekali menemukan pemandangan seperti ini khususnya di gunung-gunung sebelumnya.
“Wah, sudah mulai dingin eh, Istirahat dulu, sebatang rokok baru lanjut Yah.,” kata saya.
Untuk jalur pendakian dari basecamp sampai Pos 4 bisa dibilang menarik dan lumayan menantang. Di awal pendakian kami diajak memasuki area hutan yang cukup rapat dengan tanjakan-tanjakan pendek yang lumayan menguras tenaga. Bahkan di pertengahan Pos 3 dan Pos 4 kondisi jalur pendakian berubah lagi menjadi lebih curam. Hal ini terjadi karena jalur yang dilalui kondisinya mulai rusak akibat terlalu sering dilewati para pendaki.
Perlu kehati-hatian dan konsentrasi lebih jika melintasi jalur ini, apalagi jika mendaki saat musim hujan karena jalur akan berubah menjadi sangat licin. Durasi waktu yang diperlukan pun terbilang cukup lama karena jalur Cetho ini memang menjadi jalur terpanjang dengan jarak tempuh kurang lebih 9 kilometer dari basecamp sampai puncak.
“Jalur ini enggak ada bonus (jalan landai) Yah ?,” Kata pak Bambang sambil berhenti sejenak menarik nafas.
Menjelang Pos 5 atau Bulak Peperangan jalur pendakian mulai berubah menjadi lebih landai dan cukup nyaman untuk dilalui. Di Pos 5 ini para pendaki akan dimanjakan dengan pemandangan padang savana yang membentang luas dan sangat cocok untuk jadi spot berfoto. Tempat ini pun digunakan juga sebagai area camp karena bisa menampung banyak tenda. Di balik keindahannya tempat ini tak lepas juga dari cerita-cerita yang penuh misteri.
“Luar biasa indah banget Yah savananya, ini sudah dekat pos lima Yah ?,” kata saya.
“Iya bang, tapi kita enggak nge-camp disini, tanggung. Di Gupak Menjangan saja lebih indah viewnya,” kata Bendot (nama sapaannya).
Menurut legenda, Salah satu cerita yang melekat dengan Bulak Peperangan adalah kisah pertempuran antara pasukan kerajaan Majapahit pimpinan Brawijaya V dengan pasukan kerajaan Demak yang dipimpin Raden Patah. Bahkan menurut masyarakat setempat, suara pertempuran tersebut masih sering terdengar sampai sekarang, walaupun hanya didengar oleh orang-orang tertentu.
Entah benar atau tidak, tapi yang pasti tempat ini merupakan salah satu spot paling keren yang bakal dilalui ketika mendaki Gunung Lawu via Candi Cetho.
Jam ditangan Menunjukan pukul 17.45 WIB menurut prediksi kami sudah semakin dekat dengan lokasi tujuan untuk mendirikan tenda (Gupak Menjangan). Namun tiba-tiba cuaca berubah. Suhu hampir mencapai 2 derajat Celcius. Semakin dingin gerimis pun mulai turun. Tak berselang 5 menit hujan deras turun tanpa kompromi.
“Berteduh di bawah pohon sana, pakai jas hujan dulu,” teriak Pak Bambang.
Akibatnya, semua perlengkapan yang kami bawa sempat kebasahan. Kami pun melanjutkan perjalanan ke Gupak Menjangan. Meskipun sudah hampir sampai, lebatnya hujan ditambah suhu dingin pada ketinggian 2.861 mdpl membuat kami hampir menyerah.
Jari-jari kaki dan tangan sudah tak bisa ditekuk dan bergerak. Hujan semakin deras bersama petir yang menggelegar membuat kami semakin gelisah. Kendati demikian dengan sisa tenaga kami terus berjalan.
“Bang, kita sudah sampai,” teriak Sabil, yang memang berada dipaling depan.
Mendengar hal itu, Semangat pun kembali, langkah semakin cepat. Dan segera mendirikan tenda ditengah kondisi tubuh yang sangat lelah. Kami pun beristirahat. (*/Bersambung/San)